Kita koyak selembar taqwim—Ramadhan mensyahdu diri.
Foto-foto di dinding memang jatuh, di lantai lusuh.
Kini, dalam Ramadhan, kita ciumi sejarah
setelah tiba-tiba terdampar tua—
sedikit nikmat, sekelumit sengat, serangkai lara.
Kita koyak taqwim lagi, terkenang:
Album keluarga luntur dan keruh. Tentunya foto
di dinding semakin luruh.
Kita pernah anak, gemar mendengar detap ranting terpijak;
melonjak sebaik terasa titis hujan di dahi.
Dan kita pernah berebut selimut waktu rebut.
Mendengar siren, berkecah kita menyerbu shelter.
Kita tidak mengerti—tetap takut, tapi.
Sesekali kita hadapi ibu meramping diri dengan
jamu Jawa; merapi rambut dengan sikat Tionghua.
Dan pada malam Jumaat tak tersangka kita terserempak
ibu diciumi ayah. Kita tidak mengerti—tetap
takut, tapi, kerana ibu dan ayah berdekah lama.
Dan kita juga sempat mengusik datuk yang terkejut
tersepak songkok. Tak kita tahu apakah sekadar nahas
ia atau sebenarnya iktibar bangsa.
Pun, kita pernah Bantu menukar barut dan lampin adik;
mencorengkan bedak sejuk di muka mak su yang molek;
menghitamkan kening kakak, kemudian cepat
menyorokkan botol celak. Juga, kita sempat
mencuri sentil nenek—lembap dan lembik.
Tidak kita tahu apakah hal biasa ia
atau masih iktibar bangsa.
Kita pernah tergamam melihat Maria Montez berkucup;
pernah terketar menyaksi gelek Samia Gamal berkocak;
kita menyondol ketiak ibu kononnya terlalu gugup dan malu.
Di dapur, kita girang mendengar desih lempeng di kuali;
di tandas, pernah kita terhidu minyak sapi Punjabi.
Benar, kita tiba-tiba tersadai tua—
dari bermain keleret, terkinja di lantai joget;
dari memukul rebana, teringin coli Miss Tijah.
Dan, lebih uzur, ketika teserempak tepak sirih
dan gobek nenek—menangis diri dalam sunyi.
Mengerti, tetap takut, tapi.
Abad lalu rupanya yang tertinggal; masih boleh diingat
bosyi Jepun dan ceongsam koyak—cara Nippon membela
dan melanyak. Kini, mula dihayat kerjip computer, sempat
disaksi saham mencerut, juga didengar Adun mencarut.
Memang berubah musim menguji diri yang terlalu kalut.
Kita memang perlu belajar tidak menyesal, memahami tamsil
Habib Noh dan Tanjung Pagar; membanggai Langkawi
dan Menara Kembar; mendoa berbaiklah Mahathir dan Anwar.
Dan seperti manisnya jenaka datuk; sekali demam
sekali batuk. Sudah terjemput diri ke dunia baqa.
Tapi foto di dinding semakin jatuh. Tak juga kita
tahu apakah hal biasa ia atau memangnya iktibar bangsa.
A. Samad Said
Bangsar Utama-Durian Tunggal
21 Julai-15 Ogos 1999